Senin, 09 April 2012

Kisah Nabi Adam as

Syurga yang serba nikmat
Segala kesenangan ada di
dalamnya. Semua tersedia apa
saja yang diinginkan, tanpa
bersusah payah
memperolehnya. Sungguh
suatu tempat yang amat indah
dan permai, menjadi idaman
setiap insan. Demikianlah
menurut riwayat, tatkala
Allah SWT. selesai mencipta
alam semesta dan makhluk-
makhluk lainnya, maka
dicipta-Nya pula Adam
‘alaihissalam sebagai manusia
pertama. Hamba yang
dimuliakan itu ditempatkan
Allah SWT di dalam Syurga
(Jannah).
Adam a.s hidup sendirian dan
sebatang kara, tanpa
mempunyai seorang kawan
pun. Ia berjalan ke kiri dan ke
kanan, menghadap ke langit-
langit yang tinggi, ke bumi
terhampar jauh di seberang,
maka tiadalah sesuatu yang
dilihatnya dari mahkluk
sejenisnya kecuali burung-
burung yang berterbangan ke
sana ke mari, sambil berkejar-
kejaran di angkasa bebas,
bernyanyi-nyanyi, bersiul-siul,
seolah-olah memamerkan
kemesraan.
Adam a.s terpikat melihatnya,
rindu berkeadaan demikian.
Tetapi sungguh malang,
siapalah gerangan kawan yang
hendak diajak. Ia merasa
kesepian, lama sudah. Ia
tinggal di syurga bagai orang
kebingungan, tiada pasangan
yang akan dibujuk bermesraan
sebagaimana burung-burung
yang dilihatnya.
Tiada pekerjaan sehari-hari
kecuali bermalas-malasan
begitu saja, bersantai
berangin-angin di dalam taman
syurga yang indah permai,
yang ditumbuhi oleh
bermacam-macam bunga
semerbak yang wangi, yang di
bawahnya mengalir anak-anak
sungai bercabang-cabang, yang
desiran airnya bagai
mengandung pembangkit rindu.
Adam kesepian
Apa saja yg ada di dalam
syurga semuanya nikmat!
Tetapi apalah arti segalanya
kalau hati selalu gelisah,
resah di dalam kesepian
seorang diri? Itulah satu-
satunya kekurangan yang
dirasakan Adam a.s di dalam
syurga. Ia perlu akan sesuatu,
iaitu kepada kawan sejenis
yang akan mendampinginya di
dalam kesenangan yang tak
terhingga itu. Kadangkala
kalau rindunya datang,
turunlah ia ke bawah pohon-
pohon rindang mencari
hiburan, mendengarkan
burung-burung bernyanyi
bersahut-sahutan, tetapi
aduhai kasihan…bukannya
hati menjadi tenteram, malah
menjadi lebih tertikam. Kalau
angin bertiup sepoi-sepoi
basah di mana daun-daunan
bergerak lemah gemulai dan
mendesirkan suara sayup-
sayup, maka terkesanlah di
hatinya keharuan yang begitu
mendalam; dirasakannya
sebagai derita batin yang
dalam dibalik kenikmatan yang
dianugerahkan Allah
kepadanya.
Tetapi walaupun demikian,
agaknya Adam a.s malu
mengadukan halnya kepada
Allah SWT. Namun, walaupun
Adam a.s malu untuk mengadu,
Allah Ta’ala sendiri Maha
Tahu serta Maha Melihat apa
yang tersembunyi di kalbu
hamba-Nya. Oleh karena itu
Allah Ta’ala ingin mengusir
rasa kesepian Adam.
Hawa diciptakan
Tatkala Adam a.s sudah
berada di puncak kerinduan
dan keinginan untuk
mendapatkan kawan, sedang ia
lagi duduk termenung di atas
tempat duduk yang
berlapiskan tilam permadani
serba mewah, maka tiba-tiba
ngantukpun datang
menawannya serta langsung
membawanya hanyut ke alam
tidur.
Adam a.s tertidur nyenyak, tak
sadar kepada sesuatu yang
ada di sekitarnya. Dalam saat-
saat yang demikian itulah
Allah SWT menyampaikan
wahyu kepada malaikat Jibril
a.s untuk mencabut tulang
rusuk Adam a.s dari lambung
sebelah kiri. Bagai orang yang
sedang terbius, Adam a.s tidak
merasakan apa-apa ketika
tulang rusuknya dicabut oleh
malaikat Jibril a.s.
Dan oleh kudrat kuasa Ilahi
yang manakala menghendaki
terjadinya sesuatu cukup
berkata “Kun!” maka
terciptalah Hawa dari tulang
rusuk Adam a.s, sebagai insan
kedua penghuni syurga dan
sebagai pelengkap kurnia yang
dianugerahkan kepada Adam
a.s yang mendambakan
seorang kawan tempat ia bisa
bermesraan dan bersenda
gurau.
Pertemuan Adam dan Hawa
Hawa duduk bersandar pada
bantal lembut di atas tempat
duduk megah yang bertatahkan
emas dan permata-permata
bermutu manikam, sambil
terpesona memperhatikan
kecerahan wajah dari seorang
lelaki yang sedang terbaring,
tak jauh di depannya.
Butir-butir fikiran yang
menggelombang di dalam
sanubari Hawa seolah-olah
merupakan arus-arus tenaga
listrik yang datang mengetuk
kalbu Adam a.s, yang langsung
menerimanya sebagai mimpi
yang berkesan di dalam
gambaran jiwanya seketika itu.
Adam terjaga….! Alangkah
terkejutnya ia ketika dilihatnya
ada makhluk manusia seperti
dirinya hanya beberapa
langkah di hadapannya. Ia
seolah tak percaya pada
penglihatannya. Ia masih
terbaring mengusap matanya
beberapa kali untuk
memastikan apa yang sedang
dilihatnya.
Hawa yang diciptakan lengkap
dengan perasaan malu, segera
memutar badannya sekedar
untuk menyembunyikan bukit-
bukit di dadanya, seraya
mengirimkan senyum manis
bercampur manja, diiringi
pandangan melirik dari sudut
mata yang memberikan sinar
harapan bagi hati yang
melihatnya.
Memang dijadikan Hawa
dengan bentuk dan paras rupa
yang sempurna. Ia dihiasi
dengan kecantikan, kemanisan,
keindahan, kejelitaan,
kehalusan, kelemah-lembutan,
kasih-sayang, kesucian,
keibuan dan segala sifat-sifat
keperibadian yang terpuji di
samping bentuk tubuhnya yang
mempesona serta memikat
hati setiap yang
memandangnya.
Ia adalah wanita tercantik
yang menghiasai syurga, yang
kecantikannya itu akan
diwariskan turun temurun di
hari kemudian, dan
daripadanyalah maka ada
kecantikan yang diwariskan
kepada wanita-wanita yang
datang dibelakangnya.
Adam a.s pun tak kurang gagah
dan gantengnya. Tidak
dijumpai cacat pada dirinya
karena ia adalah satu-satunya
makhluk insan yang dicipta
oleh Allah SWT secara
langsung tanpa perantaraan.
Semua ketampanan yang
diperuntukkan bagi lelaki
terkumpul padanya.
Ketampanan itu pulalah yang
diwariskan turun temurun
kepada orang-orang di
belakangnya sebagai anugerah
Allah SWT kepada makhluk-
Nya yang bergelar manusia.
Bahkan diriwayatkan bahwa
kelak semua penduduk syurga
akan dibangkitkan dengan
pantulan dari cahaya rupa
Adam a.s.
Adam a.s bangkit dari
pembaringannya, memperbaiki
duduknya. Ia membuka
matanya, memperhatikan
dengan pandangan tajam. Ia
sadar bahwa orang asing di
depannya itu bukanlah
bayangan selintas pandang,
namun benar-benar suatu
kenyataan dari wujud insani
yang mempunyai bentuk fisik
seperti dirinya. Ia yakin ia
tidak salah pandang. Ia tahu
itu manusia seperti dirinya,
yang hanya berbeda
kelaminnya saja. Ia serta
merta dapat membuat
kesimpulan bahwa makhluk di
depannya adalah perempuan.
Ia sadar bahwa itulah jenis
yang dirindukannya. Hatinya
gembira, bersyukur,
bertahmid memuji Zat Maha
Pencipta. Ia tertawa kepada
gadis jelita itu, yang
menyambutnya tersipu-sipu
seraya menundukkan
kepalanya dengan pandangan
tak langsung, pandangan yang
menyingkap apa yang terselip
di kalbunya.
Adam terpikat
Adam terpikat pada wajah
Hawa yang jelita, yang
bagaikan kecantikan bidadari-
bidadari di dalam syurga.
Tuhan menanam asmara
murni dan hasrat birahi di hati
Adam a.s serta menjadikannya
orang yang paling asyik
dilamun cinta, yang tiada
taranya dalam sejarah, yaitu
kisah cinta dua insan di dalam
syurga. Adam a.s ditakdirkan
jatuh cinta kepada puteri yang
paling cantik dari segala yang
cantik, yang paling jelita dari
segala yang jelita, dan yang
paling harum dari segala yang
harum.
Adam a.s dibisikkan oleh
hatinya agar merayu Hawa. Ia
berseru: “Aduh, hai si jelita,
siapakah gerangan kekasih ini?
Dari manakah datangmu, dan
untuk siapakah engkau disini?”
Suaranya sopan, lembut, dan
penuh kasih sayang. “Aku
Hawa,” sambutnya ramah.
“Aku dari Pencipta!” suaranya
tertegun seketika.
“Aku….aku….aku, dijadikan
untukmu!” tekanan suaranya
menyakinkan.
Tiada suara yang seindah dan
semerdu itu walaupun
berbagai suara merdu dan
indah terdengar setiap saat di
dalam syurga. Tetapi suara
Hawa….tidak pernah di
dengarnya suara sebegitu
indah yang keluar dari bibir
mungil si wanita jelita itu.
Suaranya membangkitkan
rindu, gerakan tubuhnya
menimbulkan semangat.
Kata-kata yang paling segar
didengar Adam a.s ialah
tatkala Hawa mengucapkan
terputus-putus:
“Aku….aku….aku, dijadikan
untukmu!” Kata-kata itu
nikmat, menambah kemesraan
Adam kepada Hawa.
Adam a.s sadar bahwa nikmat
itu datang dari Tuhan dan
cintapun datang dari Tuhan. Ia
tahu bahwa Allah SWT itu
cantik, suka kepada
kecantikan. Jadi, kalau cinta
kepada kecantikan berartilah
pula cinta kepada Tuhan. Jadi
cinta itu bukan dosa tetapi
malah suatu pengabdian.
Dengan mengenali cinta,
makrifat kepada Tuhan
semakin mendalam. Cinta
kepada Hawa berarti cinta
kepada Pencipta. Dengan
keyakinan demikian Adam a.s
menjemput Hawa dengan
berkata: “Kekasihku, ke
marilah engkau!” Suaranya
halus, penuh kemesraan.
“Aku malu!” balas Hawa
seolah-olah menolak.
Tangannya, kepalanya,
memberi isyarat menolak
seraya memandang Adam
dengan penuh ketakjuban.
“Kalau engkau yang inginkan
aku, engkaulah yang ke sini!”
Suaranya yang bagaikan irama
seolah-olah memberi harapan.
Adam tidak ragu-ragu. Ia
mengayuh langkah gagah
mendatangi Hawa. Maka sejak
itulah menjadi adat bahwa
wanita itu didatangi, bukan
mendatangi.
Hawa bangkit dari tempat
duduknya, bergeser beberapa
langkah ke belakang. Ia sadar
bahwa walaupun dirinya
diperuntukkan bagi Adam a.s,
namunlah haruslah
mempunyai syarat-syarat
tertentu. Di dalam
sanubarinya, ia tak dapat
menyangkal bahwa iapun
terpesona dan tertarik kepada
wajah Adam a.s yang sungguh
indah.
Adam a.s tidak putus asa. Ia
tahu itu bukan dosa. Ia tahu
membaca isi hati. Ia tahu
bukannya Hawa menolak,
tetapi menghindarnya itu
memanglah suatu perbuatan
wajar dari sikap malu seorang
gadis yang berbudi. Ia tahu
bahwa di balik “malu” terselit
“rasa mau”. Karenanya ia
yakin pada dirinya bahwa
Hawa diperuntukkan baginya.
Naluri insaninya bergelora.
Tatkala ia sudah dekat pada
Hawa serta hendak
mengulurkan tangan sucinya
kepadanya, maka tiba-tiba
terdengarlah panggilan ghaib
berseru: “Hai
Adam….tahanlah dirimu.
Pergaulanmu dengan Hawa
tidak halal kecuali dengan
mahar dan menikah!”. Adam
a.s tertegun, kembali ke
tempatnya dengan taat. Hawa
pun mendengar teguran itu dan
hatinya tenteram.
Kedua manusia syurga itu
sama-sama terdiam seolah-
olah menunggu perintah.
Perkawinan Adam dan Hawa
Allah SWT. Yang Maha
Pengasih untuk
menyempurnakan nikmatnya
lahir dan batin kepada kedua
hamba-Nya yang saling
memerlukan itu, segera
memerintahkan gadis-gadis
bidadari penghuni syurga
untuk menghiasi dan
menghibur mempelai
perempuan itu serta
membawakan kepadanya
perhiasan-perhiasan syurga.
Sementara itu diperintahkan
pula kepada malaikat langit
untuk berkumpul bersama-
sama di bawah pohon
“Syajarah Thuba”, menjadi
saksi atas pernikahan Adam
dan Hawa.
Diriwayatkan bahwa pada
akad pernikahan itu Allah
SWT. berfirman: “Segala puji
adalah kepunyaan-Ku, segala
kebesaran adalah pakaian-Ku,
segala kemegahan adalah
hiasan-Ku dan segala makhluk
adalah hamba-Ku dan di
bawah kekuasaan-Ku. Menjadi
saksilah kamu hai para
malaikat dan para penghuni
langit dan syurga bahwa Aku
menikahkan Hawa dengan
Adam, kedua ciptaan-Ku
dengan mahar, dan hendaklah
keduanya bertahlil dan
bertahmid kepada-Ku!”.
Malaikat dan para bidadari
berdatangan
Setelah akad nikah selesai
berdatanganlah para malaikat
dan para bidadari
menyebarkan mutiara-mutiara
yaqut dan intan-intan permata
kemilau kepada kedua
pengantin agung tersebut.
Selesai upacara akad,
diantarlah Adam a.s
mendapatkan isterinya di
istana megah yang akan
mereka diami.
Hawa menuntut haknya. Hak
yang disyariatkan Tuhan sejak
semula. “Mana mahar?”
tanyanya. Ia menolak
bersentuhan sebelum mahar
pemberian dibayar dulu.
Adam a.s bingung seketika.
Lalu sadar bahwa untuk
menerima haruslah bersedia
memberi. Ia insaf bahwa yang
demikian itu haruslah menjadi
kaidah pertama dalam
pergaulan hidup.
Sekarang ia sudah mempunyai
kawan. Antara sesama kawan
harus ada saling memberi dan
saling menerima. Pemberian
pertama pada pernikahan
untuk menerima kehalalan
ialah mahar. Oleh karenanya
Adam a.s menyedari bahwa
tuntutan Hawa untuk
menerima mahar adalah
benar.
Mahar perkahwinan Adam
Pergaulan hidup adalah
persahabatan! Dan pergaulan
antara lelaki dengan wanita
akan berubah menjadi
perkawinan apabila disertai
dengan mahar. Dan kini
apakah bentuk mahar yang
harus diberikan? Itulah yang
sedang dipikirkan Adam.
Untuk keluar dari keraguan,
Adam a.s berseru: “Ilahi,
Rabbi! Apakah gerangan yang
akan kuberikan kepadanya?
Emaskah, intankah, perak atau
permata?”. “Bukan!” kata
Tuhan. “Apakah hamba akan
berpuasa atau sholat atau
bertasbih untuk-Mu sebagai
maharnya?” tanya Adam a.s
dengan penuh pengharapan.
“Bukan!” tegas suara Ghaib.
Adam diam, mententeramkan
jiwanya. Kemudian bermohon
dengan tekun: “Kalau begitu
tunjukilah hamba-Mu jalan
keluar!”.
Allah SWT. berfirman: “Mahar
Hawa ialah sholawat sepuluh
kali kepada Nabi-Ku, Nabi yang
bakal Kubangkitkan, yang
membawa pernyataan dari
sifat-sifat-Ku: Muhammad,
cincin permata dari para
anbiya’ dan penutup serta
penghulu segala Rasul.
Ucapkanlah sepuluh kali!”.
Adam a.s merasa lega. Ia
mengucapkan sepuluh kali
sholawat ke atas Nabi
Muhammad SAW. sebagai
mahar kepada isterinya. Suatu
mahar yang bernilai spiritual,
karena Nabi Muhammad SAW
adalah rohmatan lil ‘alamin
(rahmat bagi seluruh alam).
Hawa mendengarkannya dan
menerimanya sebagai mahar.
“Hai Adam, kini Aku halalkan
Hawa bagimu”, perintah Allah,
“dan dapatlah ia sebagai
isterimu!”. Adam a.s
bersyukur lalu masuk kamar
isterinya dengan ucapan
salam. Hawa menyambutnya
dengan segala keterbukaan
dan cinta kasih yang tulus
Allah SWT. berfirman kepada
mereka: “Hai Adam, diamlah
engkau bersama isterimu di
dalam syurga dan makanlah
(serta nikmatilah) apa saja
yang kamu berdua ingini, dan
janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini karena
(apabila mendekatinya) kamu
berdua akan menjadi zalim”.
(Al-A’raaf: 19). Dengan
pernikahan ini Adam a.s tidak
lagi merasa kesepian di dalam
syurga. Inilah percintaan dan
pernikahan yang pertama
dalam sejarah ummat
manusia, dan berlangsung di
dalam syurga yang penuh
kenikmatan. yaitu sebuah
pernikahan agung yang dihadiri
oleh para bidadari, jin dan
disaksikan oleh para malaikat.
Peristiwa pernikahan Adam
dan Hawa terjadi pada hari
Jum’at. Entah berapa lama
keduanya berdiam di syurga,
hanya Allah SWT yang tahu.
Lalu keduanya diperintahkan
turun ke bumi. Turun ke bumi
untuk menyebar luaskan
keturunan yang akan mengabdi
kepada Allah SWT dengan janji
bahwa syurga itu tetap
tersedia di hari kemudian bagi
hamba-hamba yang beriman
dan beramal sholeh.
Firman Allah SWT.: “Kami
berfirman: Turunlah kamu
dari syurga itu. Kemudian jika
datang petunjuk-Ku kepadamu,
maka barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran atas
mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Al-
Baqarah: 38).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar