Jumat, 27 April 2012

BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR (4/4)
Muhammad Husain Haekal
Kedua orang utusan itu ialah 'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah bin
Abi Rabi'a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana
mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya
mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah
itu kepada mereka.
"Paduka Raja," kata mereka, "mereka datang ke negeri paduka
ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka
meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama
paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri,
yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus
kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh
orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri,
supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada
mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu
mencemarkan dan memaki-maki."
Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan
dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka
menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan
membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak
Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja.
Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan
dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang
menghadap
"Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan
masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan
menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah
mereka datang.
Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far b. Abi b. Talib.
"Paduka Raja," katanya, "ketika itu kami masyarakat yang
bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala
kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat,
dengan ketanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang
lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang
rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya,
dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami
menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan
batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan
nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk
tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan
keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan
darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami
melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta,
memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang
bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak
mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan
salat, zakat dan puasa. [Lalu disebutnya beberapa ketentuan
Islam]. Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang
diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang
Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun
juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan
kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami,
menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama
kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan
segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena
mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka
menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar
pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan
kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan
di sini takkan ada penganiayaan."
"Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan
bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi.
"Ya," jawab Ja'far; lalu ia membacakan Surah Mariam dari
pertama sampai pada firman Allah:
"Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka:
Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia?
Dia (Isa) berkata: 'Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku
Kitab dan dijadikanNya aku seorang nabi. DijadikanNya aku
pembawa berkah dimana saja aku berada, dan dipesankanNya
kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan
berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang
congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan,
tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!'" (Qur'an 19:
29-33)
Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang
tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut:
"Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata
Yesus Kristus'" kata mereka.
Najasyi lalu berkata: "Kata-kata ini dan yang dibawa oleh
Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada
kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan
mereka kepada tuan-tuan!"
Keesokan harinya 'Amr bin'l-'Ash kembali menghadap Raja dengan
mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang
luarbiasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan
tanyakan apa yang mereka katakan itu.
Setelah mereka datang, Ja'far berkata: Tentang dia pendapat
kami seperti yang dikafakan Nabi kami: 'Dia adalah hamba Allah
dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada
Perawan Mariam."
Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di
tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:
"Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih
dari garis ini."
Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah
oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal
adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram.
Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan
pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke
Mekah untuk pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah
masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya,
merekapun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari
delapanpuluh orang tanpa wanita dan anak-anak. Adakah kedua
kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari
gangguan ataukah meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri -
mereka mempunyai tujuan politik? Sebaiknya ahli sejarah akan
dapat mengungkapkan hal ini.
Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan
bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan
sahabat-sahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk
itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab, Nabi mereka Isa
yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir
mereka akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy
walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa
tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia adalah negeri
makmur; yang tidak sama dengan Mekah; dan lebih dapat
mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan
Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang
masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kekuatiran
akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad
mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi
pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri
mereka sendiri atau akan dapat mengalahkan musuh mereka. Besar
sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam
pikiran Muhammad, melihat tingkat kecerdasannya yang begitu
tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh,
yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan
kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya
yang halus sekali itu.
Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang
sekali. Pada waktu itu - dan sampai pada waktu pembawa risalah
itu wafat - inti ajaran Islam masih bersih sekali,
kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di
Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia
sudah dijangkiti oleh noda, perselisihan antara mereka yang
menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa.
Disamping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu,
mereka yang masih mengambil dari sumber ajaran yang murni,
yang tidak perlu dikuatirkan.
Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa
generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam
paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu
berkembang di negeri-negeri Arab; tetapi bagaimanapun
paganisma juga.
Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam
segala bentuk dan coraknya. Ditambah lagi, bahwa agama Nasrani
waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di
kalangan pemuka-pemuka agama - yang oleh Islam samasekali
tidak dikenal - yang pada waktu itu merupakan golongan
tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu - dan dasar ini
tetap berlaku - Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa
manusia ke puncak tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar