Minggu, 13 Mei 2012

Pengertian dan Hukum-Hukum Berzina

1. PENGERTIAN ZINA
Dalam al-Mu’jamul Wasith hal 403
disebutkan, “Zina ialah seseorang
bercampur dengan seorang wanita tanpa
melalui akad yang sesuai dengan syar’i.”
2. HUKUM ZINA
Zina adalah haram hukumnya, dan ia
termasuk dosa besar yang paling besar.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.” (QS al-Israa’: 32)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata:
Saya pernah bertanya kepada Rasulullah
saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang
paling besar?” Jawab Beliau, “Yaitu engkau
mengangkat tuhan tandingan bagi Allah,
padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Lalu saya bertanya
(lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau,
“Engkau membunuh anakmu karena
khawatir ia makan denganmu.”
Kemudian saya bertanya (lagi). “Lalu apa
lagi?” Jawab Beliau, “Engkau berzina
dengan isteri tetanggamu.” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811,
Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI:
422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No.
3232).
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah Tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina, barang siapa yang
melakukan yang demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa(nya),
(yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan
amal saleh; Maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS Al-Furqaan: 68-70).
Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang
panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau
saw bersabda:
“Kemudian kami berjalan dan sampai
kepada suatu bangunan serupa tungku
api dan di situ kedengaran suara hiruk-
pikuk. Lalu kami tengok ke dalam,
ternyata di situ ada beberapa laki-laki dan
perempuan yang telanjang bulat. Dari
bawah mereka datang kobaran api dan
apabila kena nyala api itu, mereka
memekik. Aku bertanya, “Siapakah orang
itu” Jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki
dan perempuan yang telanjang bulat
yang berada di dalam bangunan serupa
tungku api itu adalah para pezina laki-laki
dan perempuan.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari
XII: 438 no: 7047).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba
berzina tatkala ia sebagai seorang
mu’min; dan tidaklah ia mencuri,
manakala tatkala ia mencuri sebagai
seorang beriman; dan tidaklah ia
meneguk arak ketikaia meneguknya
sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia
membunuh (orang tak berdosa),
manakala ia membunuh sebagai seorang
beriman.”
Dalam lanjutan riwayat di atas
disebutkan:
Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada
Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara tercabutnya
iman darinya?’ Jawab Ibnu Abbas: ‘Begini
–ia mencengkeram tangan kanan pada
tangan kirinya dan sebaliknya, kemudian
ia melepas lagi–, lalu manakala dia
bertaubat, maka iman kembali (lagi)
kepadanya begini –ia mencengkeramkan
tangan kanan pada tangan kirinya (lagi)
dan sebaliknya-.’” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 7708, Fathul Bari XII:
114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63).
3. KLASIFIKASI ORANG BERZINA
Orang yang berzina adakalanya bikr atau
ghairu muhshan (Perawan atau lajang
(untuk perempuan) dan perjaka atau
bujang (untuk laki-laki)), atau adakalanya
muhshan (orang yang sudah beristeri
atau bersuami).
Jika yang berzina adalah orang merdeka,
muhshan, mukallaf dan tanpa paksaan
dari siapa pun, maka hukumannya
adalah harus dirajam hingga mati.
Muhshan ialah orang yang pernah
melakukan jima’ melalui akad nikah yang
shahih. Sedangkan mukallaf ialah orang
yang sudah mencapai usia akil baligh.
Oleh sebab itu, anak dan orang gila tidak
usah dijatuhi hukuman. Berdasarkan
hadist “RUFI’AL QALAM ’AN TSALATSATIN
(=diangkat pena dari tiga golongan)”.
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari ra
bahwa ada seorang laki-laki dari daerah
Aslam datang kepada Nabi saw lalu
mengatakan kepada Beliau bahwa dirinya
benar-benar telah berzina, lantas ia
mepersaksikan atas dirinya (dengan
mengucapkan) empat kali sumpah. Maka
kemudian Rasulullah saw menyuruh
(para sahabat agar mempersiapkannya
untuk dirajam), lalu setelah siap, dirajam.
Dan ia adalah orang yang sudah pernah
nikah. (Shahih: Shahih Abu Daud no:
3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan
A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Umar bin
Khattab ra pernah berkhutbah di
hadapan rakyatnya, yaitu dia berkata,
“Sesungguhnya Allah telah mengutus
Muhammad saw dengan cara yang haq
dan Dia telah menurunkan kepadanya
kitab al-Qur’an. Di antara ayat Qur’an
yang diturunkan Allah ialah ayat rajam,
kami telah membacanya,
merenungkannya dan menghafalkannya.
Rasulullah saw pernah merajam dan
kami pun sepeninggal Beliau merajam
(juga). Saya khawatir jika zaman yang
dilalui orang-orang sudah berjalan lama,
ada seseorang mengatakan, “Wallahi,
kami tidak menjumpai ayat rajam dalam
Kitabullah.” Sehingga mereka tersesat
disebabkan meninggalkan kewajiban
yang diturunkan Allah itu, padahal ayat
rajam termaktub dalam Kitabullah yang
mesti dikenakan kepada orang yang
berzina yang sudah pernah menikah, baik
laki-laki maupun perempuan, jika bukti
sudah jelas, atau hamil atau ada
pengakuan.” (Mutafaqun ’alaih: Fathul
Bari XII: 144 no: 6830, Muslim III: 1317
no 1691, ‘Aunul Ma’bud XII: 97 no: 4395,
Tirmidzi II: 442 no: 1456).
4. HUKUMAN BUDAK YANG BERZINA
Apabila yang berzina adalah budak laki-
laki ataupun perempuan, maka tidak
perlu dirajam. Tetapi cukup didera
sebanyak lima puluh kali deraan,
sebagaimana yang ditegaskan firman
Allah swt:
“Dan apabila mereka Telah menjaga diri
dengan kimpoi, Kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina),
Maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami.” (QS An-Nisaa: 25)
Dari Abdullah bin Ayyasy al-Makhzumi, ia
berkata, “Saya pernah diperintah Umar
bin Khattab ra (melaksanakan hukum
cambuk) pada sejumlah budak
perempuan karena berzina, lima puluh
kali, lima puluh kali cambukan.” (Hasan:
Irwa-ul Ghalil no: 2345, Muwaththa‘
Malik hal 594 no: 1058 dan Baihaqi VIII:
242)
5. ORANG YANG DIPAKSA BERZINA TIDAK
BOLEH DIDERA
Dari Abu Abdurahhman as-Silmi ia
berkata: “Umar bin Khatab ra pernah
dibawakan seorang perempuan yang
pernah ditimpa haus dahaga luar biasa,
lalu ia melewati seorang penggembala,
lantas ia minta air minum kepadanya.
Sang penggembala enggan memberikan
air minum, kecuali ia menyerahkan
kehormatannya kepada seorang
penggembala. Kemudian terpaksa ia
melaksanakannya. Maka (Umar) pun
bermusyawarah dengan para sahabat
untuk merajam perempuan itu,
kemudian Ali ra menyatakan, ‘Ini dalam
kondisi darurat, maka saya berpendapat
hendaklah engkau melepaskannya.’
Kemudian Umar
melaksanakannya.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2313 dan Baihaqi VIII: 236).
6. HUKUMAN BIKR (PERAWAN ATAU
PERJAKA) YANG BERZINA
Allah swt berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” (QS An-
Nuur: 2).
Dari Zaid bin Khalid-al-Juhanni ra, ia
berkata, “Saya pernah mendengar Nabi
saw mnyuruh orang yang berzina yang
belum pernah kimpoi didera seratus kali
dan diasingkan selama setahun.” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no: 2347 dan Fathul Bari
XII: 156 no: 6831)
Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Ambillah
dariku, ambillah dariku; sungguh Allah
telah menjadikan jalan (keluar) untuk
mereka; gadis (berzina) dengan jejaka
dicambuk seratus kali cambukan dan
diasingkan setahun, dan duda berzina
dengan janda didera seratus kali didera
dan dirajam.” (Shahih: Mukthashar
Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no:
1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392,
Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah
II: 852 no: 2550).
7. DENGAN APA HUKUM HAD SAH
DILAKSANAKAN?
Hukum had dianggap sah dilaksanakan
dengan dua hal: pertama, pengakuan dan
kedua, disaksikan oleh para saksi. (Fiqhus
Sunnah III: 352).
Adapun pengakuan, didasarkan pada
waktu Rasulullah saw yang pernah
merajam Ma’iz dan perempuan al-
Ghamidiyah yang keduanya mengaku
telah berzina:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Tatkala
Ma’iz bin Malik dibawa kepada Nabi saw,
maka Beliau bertanya kepadanya,
“Barangkali engkau hanya mencium(nya)
atau meraba(nya) dengan tanganmu atau
sekedar melihat(nya)?” Jawabnya, “Tidak,
ya Rasulullah.” Tanya Beliau (lagi),
“Apakah engkau telah melakukan sesuatu
yang tidak layak diutarakan dengan terus
terang?” Maka ketika itu, Beliau
menyuruh merajamnya.” (Shahih: Shahih
Abu Daud no: 3724, Fathul Bari XII: 135
no: 6824 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 109 no:
4404)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari
bapaknya ra bahwa seorang perempuan
dari daerah Ghamid dari suku al-Azd
datang kepada Nabi saw lalu
mengatakan, “Ya Rasulullah, sucikanlah
diriku!” Maka sabda Beliau, “Celaka kamu.
Kembalilah, lalu beristighfarlah dan
bertaubatlah kepada-Nya!” Kemudian ia
berkata (lagi), “Saya melihat engkau
hendak menolakku, sebagaimana engkau
telah menolak Ma’iz bin Malik.” Beliau
bertanya kepadanya, “Apa itu?” Jawabnya,
“Sesungguhnya saya telah hamil karena
berzina.” Tanya Beliau. “Kamu?”
Jawabnya, “Ya.” Maka sabda Beliau
kepadanya, “(Pulanglah) hingga engkau
melahirkan (bayi) yang di perutmu.”
Kemudian ada seseorang sahabat dari
kawan Anshar yang mengurusnya hingga
ia melahirkan bayinya, lalu ia data kepda
Nabi saw dan menginformasikan kepada
Beliau bahwa perempuan al-Ghamidiyah
itu telah melahirkan. Maka beliau
bersabda, “Kalau begitu, kami tidak akan
segera merajamnya dan kami tidak akan
biarkan anaknya yang masih kecil, tidak
ada yang menyusuinya.” Kemudian ada
seorang sahabat Anshar bangun lantas
berkata, “Ya Nabiyullah, saya akan
menanggung penyusuannya.” Kemudian
Beliau pun merajamnya. (Shahih:
Mukhtashar Muslim no: 1039, Muslim III:
1321 no: 1695).
Jika yang bersangkutan ternyata meralat
pengakuannya, maka tidak boleh dijatuhi
hukuman. Hal ini merujuk pada hadist
Nu’aim bin Huzzal:
Adalah Ma’iz bin Balik seorang anak yatim
yang dulu berada di bawah asuhan
ayahku (yaitu Huzzal), kemudian ia
pernah berzina dengan seorang budak
perempuan dari suatu kampung …
sampai pada perkataannya “Kemudian
Nabi Saw menyuruh agar Ma’iz dirajam.
Lalu dikeluarkanlah Ma'iz ke Padang
Pasir. Tatkala dirajam, ia merasakan
sakitnya lemparan batu yang menimpa
dirinya, kemudian bersedih hati, lalu ia
melarikan diri dengan cepat, lantas
bertemu dengan Abdullah bin Unais. Para
sahabatnya tidak mampu (menahannya).
Kemudian Abdullah bin Unais mencabut
tulang betis unta, lalu dilemparkan
kepadanya hingga ia meninggal dunia.
Kemudian Abdullah bin Unais datang
menemui Nabi saw lalu melaporkan
kasus tersebut kepadanya, maka
Rasulullah berkata kepadanya, “Mengapa
kamu tidak biarkan ia, barangkali ia
bertaubat lalu Allah menerima
taubatnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no.
3716, ‘Aunul Ma’bud XII: 99 no: 4396)
8. HUKUM ORANG YANG MENGAKU
PERNAH BERZINA DENGAN SI FULANAH
Apabila seseorang mengaku bahwa
dirinya telah berzina dengan fulanah,
maka laki-laki yang mengaku tersebut
harus dijatuhi hukuman. Kemudian jika si
perempuan, rekan kencannya, mengaku
juga, maka ia harus dijatuhi hukuman
juga. Jika ternyata si perempuan tidak
mau mengakui, maka ia (si perempuan)
tidak boleh dijatuhi hukuman.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ra
bahwa ada dua orang laki-laki yang saling
bermusuhan datang kepada nabi saw lalu
seorang di antara keduanya menyatakan,
“Ya Rasulullah, putuskanlah di antara
kami dengan Kitabullah!” Yang satunya
lagi --yang paling mengerti di antara
mereka berdua-- berkata, “Betul, ya
Rasulullah, putuskanlah di antara kami
dengan Kitabullah, dan izinkanlah saya
untuk mengutarakan sesuatu kepadamu.”
Jawab Beliau, "Silakan utarakan!" Ia
melanjutkan pengutaraannya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang
pekerja yang diberi upah oleh orang ini,
lalu ia pun berzina dengan isterinya. Lalu
orang-orang menjelaskan kepadaku
bahwa anaku harus dirajam. Oleh sebab
itu, saya telah menebusnya dengan
memberikan seratus ekor kambing dan
seorang budak wanitaku. Kemudian saya
pernah bertanya kepada orang-orang
alim, lalu mereka menjelaskan kepadaku
bahwa anakku harus didera seratus kali
dan diasingkan selama setahun lamanya.
Sedangkan rajam hanya ditimpahkan
kepada isteri ini.” Maka Rasulullah saw
bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada
dalam genggamannya, saya akan benar-
benar memutuskan di antara kalian
berdua dengan Kitabullah; adapun
kambing dan budak perempuanmu itu
maka dikembalikan (lagi) kepadamu.”
Beliau pun mendera anaknya seratus kali
dan mengasingkannya selama setahun.
Dan Beliau juga menyuruh Unais al-Aslam
agar menemui isteri orang pertama itu;
jika ia mengaku telah berzina dengananak
itu, maka harus dirajam. Ternyata ia
mengaku, lalu dirajam oleh Beliau.
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 136
no: 6827-6828, Muslim III: 1324 no:
1697-1698, ‘Aunul Ma’bud XII: 128 no:
4421, Tirmidzi II: 443 no: 145, Ibnu
Majah II: 852 no: 2549 dan Nasa’i VIII:
240).
9. HUKUM HAD HARUS DILAKSANAKAN
BILA SAKSINYA KUAT
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-
wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang
fasik.” (QS An-Nuur: 4)
Apabila ada empat laki-laki muslim yang
merdeka lagi adil menyaksikan dzakar
(penis) si fulan masuk ke dalam farji
(vagina) si fulanah seperti pengoles celak
mata masuk ke dalam botol tempat
celak, dan seperti timba masuk ke dalam
sumur, maka kedua-duanya harus
dijatuhi hukuman.
Manakalah tiga saja yang mengaku
menyaksikan, sedang yang keempat
justru mengundurkan diri dari kesaksian
mereka, maka yang tiga orang itu harus
didera dengan dera tuduhan sebagimana
yang telah dipaparkan ayat empat An-
Nuur itu, dan berdasarkan riwayat
berikut:
Dari Qasamah bin Zuhair, ia bercerita:
Tatkala antara Abu Bakrah dengan al-
Mughirah ada permasalahan tuduhan
zina yang dilaporkan kepada Umar ra
maka kemudian Umar minta didatangkan
saksi-saksinya, lalu Abu Bakrah, Syibl bin
Ma’bad, dan Abu Abdillah Nafi’
memberikan kesaksiannya. Maka Umar
ra pada waktu mereka bertiga usai
memberikan kesaksiannya, berkata,
"Permasalah Abu Bakrah ini membuat
Umar berada dalam posisi yang sulit."
Tatkala Ziyad datang, dia berkata, "(Hai
Ziyad), jika engkau berani memberikan
kesaksian, maka insya Allah tuduhan zina
itu benar." Maka kata Ziyad, "Adapun
perbuatan zina, maka aku tidak
menyaksikan dia berzina. Namun aku
melihat sesuatu yang buruk." Makakata
Umar, “Allahu Akbar, hukumlah mereka.”
Kemudian sejumlah sahabat mendera
mereka bertiga. Kemudian Abu Bakrah
seusai dicambuk oleh Umar menyatakan,
“(Hai Umar), saya bersaksi bahwa
sesungguhnya dia (al-Mughirah) berzina.”
Kemudian, segera Umar ra hendak
menderanya lagi, namun dicegah oleh Ali
ra seraya berkata kepada Umar, “Jika
engkau menderanya lagi, maka rajamlah
rekanmu itu.” Maka Umar pun
membatalkan niatnya dan tidak
menderanya lagi.” (Sanadnya Shahih:
Irwa-ul Ghalil VIII: 29 dan Baihaqi VIII:
334).
10. HUKUM ORANG BERZINA DENGAN
MAHRAMNYA
Barangsiapa yang berzina dengan
mahramnya, maka hukumnya adalah
dibunuh, baik ia sudah pernah nikah
ataupun belum. Dan apabila ia telah
mengawini mahramnya, maka
hukumannya ia harus dibunuh dan
hartanya harus diserahkan kepada
pemerintah.
Dari al-Bara’ ra, ia bertutur, “Saya pernah
berjumpa dengan pamanku yang sedang
membawa pedang, lalu saya tanya,
‘(Wahai Pamanda), Paman hendak
kemana?’ jawabnya, ‘Saya diutus oleh
Rasulullah saw menemui seorang laki-laki
yang telah mengawini isteri bapaknya
sesudah ia meninggal dunia, agar saya
menebas batang lehernya dan menyita
harta bendanya.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no: 2351, Shahih Ibnu Majah no: 2111,
'Aunul Ma'bud XII: 147 no: 4433, Nasa’i
VI: 110, namun dalam Sunan Tirmidzi
dan Sunan Ibnu Majah tanpa lafazh
"menyita harta bendanya." Tirmidzi II:
407 no: 1373 dan Ibnu Majah II: 869 no:
2607).
11. HUKUM ORANG YANG MENYETUBUHI
BINATANG
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa yang menyetubui
binatang ternak, maka hendaklah kamu
bunuh dia dan bunuh (pula) binantang
itu.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no:
1176, Tirmidzi III: 1479, 'Aunul Ma'bud
XII: 157 no: 4440, Ibnu Majah II: 856 no:
2564)
12. HUKUMAN ORANG YANG
MELAKUKAN LIWATH, HOMOSEKSUAL
Apabila seorang laki-laki memasukkan
penisnya ke dalam dubur laki-laki yang
lain, maka hukumannya adalah dibunuh,
baik keduanya sudah pernah menikah
taupun belum.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Siapa saja yang kalian jumpai
melakukan perbuatan kaum (Nabi) Luth,
maka bunuhlah fa’il (pelakunya) dan
maf’ulbih (korbannya).” (Shahih: Shahih
Ibnu Majah no: 2075, Tirmidzi III: 8 no:
1481, ‘Aunul Ma’bud XII: 153 no: 4438,
Ibnu Majah II: 856 no: 2561).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim
bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf
Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 820
- 834

Tidak ada komentar:

Posting Komentar