Kamis, 22 Maret 2012

Mengapa YangDihancurkan YahudiPertama Kali AdalahWanita?

“Seorang anak yang rusak masih bisa
menjadi baik asal ia pernah mendapatkan
pengasuhan seorang ibu yang baik.
Sebaliknya, seorang ibu yang rusak
akhlaknya, hanya akan melahirkan
generasi yang rusak pula akhlaknya.
Itulah mengapa yang dihancurkan
pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”
Ucapan diatas dilontarkan oleh
Muhammad Quthb, dalam sebuah
ceramahnya puluhan tahun silam.
Muhammad Quthb adalah ulama Mesir
yang concern terhadap pendidikan Islam
sekaligus pemikir ulung abad 20. Ia tidak
hanya dikenal sebagai aktivis yang gencar
melakukan perlawanan terhadap rezim
Imperialisme Mesir, namun juga
cendekiawan yang terkenal luas ilmunya.
Beberapa bukunya pun telah beredar di
Timur Tengah dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa yang diantaranya
adalah Shubuhāt Hawla al-Islām (literally
“Misconceptions about Islam”).Hal nahnu
Muslimūn (Are we Muslims?). Al-Insān
bayna al-māddīyah wa-al-Islām. (Man
between the Material World and Islam).
Islam and the Crisis of the Modern World
dan masih banyak lagi. Maka tak heran,
lepas dari penjara ia pun mendapatkan
gelar Profesor Kajian Islam di Arab Saudi.
Muhammad Quthb menekankan
bagaimana pentingnya peran yang
dimiliki seorang ibu dalam Islam. Ibu
tidak saja adalah pihak yang dekat secara
emosional kepada seorang anak, tapi ia
juga memiliki pengaruh besar terhadap
masa depan akhlak dari generasi yang
dilahirkannya.
Menurut Muhammad Quthb anak yang
pada kemudian hari mendapatkan ujian
berupa kehancuran moral akan bisa
diatasi, asal sang anak pernah
mendapatkan pengasuhan ibu yang
solehah. Pendidikan Islami yang
terinternalisasi dengan baik, akan
membuat sang anak lekas bangkit dari
keterpurukannya mengingat petuah-
petuah rabbani yang pernah terekam
dalam memorinya.
Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang
sudah rusak dari awalnya, maka ia pun
hanya akan melahirkan sebuah
keturunan yang memiliki kepribadian
persis dengan wanita yang dipinangnya.
Sifat alami anak yang banyak mengimitasi
perilaku sang ibu akan membuka peluang
transferisasi sifat alami ibu kepada
anaknya.
Maka kerusakan anak akan amat
tergantung dari kerusakan ibu yang
mendidiknya. Oleh karena itu, dalam
bukunya Ma’rakah At Taqaaliid,
Muhammad Quthb mengemukakan
alasan mengapa Islam mengatur konsep
pendidikan yang terkait dengan arti
kehadiran ibu dalam keluarga. Ia
menulis:
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah
sekadar sarana untuk melahirkan,
mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya
sekedar begitu, Islam tidak perlu
bersusah payah mendidik, mengajar,
menguatkan iman, dan menyediakan
jaminan hidup, jaminan hukum dan
segala soal psikologis untuk menguatkan
keberadaannya… Kami katakan mengapa
‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan,
membela dan menyusui yang setiap
kucing dan sapi subur pun mampu
melakukannya.”
Konsep inilah yang tidak terjadi di Negara
Barat. Barat mengalami kehancuran total
pada sisi masyarakatnya karena bermula
dari kehancuran moral yang menimpa
wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya
dikonsep untuk mendefinisikan arti
kepribadian dalam pengertian yang
sangat primitif, yakni tidak lain konsep
pemenuhan biologis semata.
Dosen dan pelacur bisa jadi sama
kedudukannya mirip dengan perkataan
Sumanto Al Qurtubhy, kader Liberal
didikan Kanada yang berujar, “Lho, apa
bedanya dosen dengan pelacur? Kalau
dosen mencari nafkah dengan
kepintarannya, maka pelacur mencari
makan dengan tubuhnya.”
Qurthuby hanyalah muqollid (pengikut)
dari Sigmund Freud, psikolog kenamaan
asal Austria yang membumikan konsep
psikoanalisis. Ia mengatakan ketika
dorongan seksual sudah menggelora
dalam diri pria maupun wanita, maka
sudah selayaknya mereka tuntaskan
lewat jalan perzinahan, tanpa harus
melalui alur pernikahan. Maka itu Freud
menuding orang yang senantiasa
menjaga akhlaknya rentan terserang
gangguan psikologis seperti neurosis.
Kini Freud memang telah mati, namun
gagasan itu membekas dalam pribadi
orang Barat. Jika anda kerap menyaksikan
berita Olahraga, pembawa acara sering
memberitakan bahwa salah seorang
pemain sepakbola di Inggris telah
memiliki anak dari pacarnya, ya pacar
dan bukan istri. Karena konsep
pernikahan sudah mendebu di benua
biru.
Pasca kematian Freud, muncul banyak
pengganti yang tidak lebih ekstrem, salah
satunya Lawrence Kohlberg. Ia adalah
pengusung metode pendidikan Karakter.
Metode ini sudah gagal di Barat dan
sekarang diimpor ke negeri-negeri
muslim, termasuk Indonesia.
Wajah pendidikan Karakter terlihat
manis. Ia mentitah agar para siswa
berperilaku jujur dan memegang
komitmen. Namun ia tidak memliki dasar
agama, jika seorang remaja memilih
untuk hidup tanpa tuhan, tidak menjadi
persoalan dalam pendidikan karakter,
asal itu dapat dipertanggungjawabkan.
Begitu pula masalah hubungan seks. Bagi
Kohlbergian, kita tidak boleh
menyalahkan seorang anak perempuan
yang hamil di luar nikah, sebab masalah
baik atau buruk menjadi relative.
Pendidikan Karakter pun tidak boleh
menghakiminya, karena anak akan jatuh
salah jika ia tidak bisa
mempertanggungjawabkan hubungan
seksnya. Jadi jika remaja perempuan
hamil masih bisa terbebas dari “dosa”,
asal ia siap menjadi ibu. Urusan benar
atau salah tergantung tanggung jawab,
bukan agama.
Maka tak heran, ketika Lawrence
Kohlberg lebih memilih bunuh diri
dengan menyelam di laut yang dingin
pun disambut gembira oleh masyarakat
Barat. Alasannya bisa membuat kita
sebagai umat muslim tertawa: Kohlberg
telah memilih jalan yang memang ia
kehendaki. Ya terlepas dari dia yang akan
masuk neraka jahnam. Sebuah metode
berfikir yang terlalu konyol untuk kita
fahami.
Kita kembali lagi ke masalah perempuan.
Kehidupan Barat yang bebas sejatinya
diawali dari kehendak dari kalangan
wanita untuk hidup bebas dan meredeka
sesukanya. M. Thalib, cendekiawan
muslim yang telah menulis puluhan buku
tentang pendidikan Islam juga
menekankan bagaimana proyek Zionis
dibalik wacana pembebasan wanita di
Barat. Menurutnya kaum Yahudi memiliki
peran kuat dibalik slogan Liberty, Egality
dan Fraiternity (kebebasan, persamaan
dan persaudaraan) kepada bangsa
Perancis.
Hal ini dipropagandakan oleh Zionis dan
disebarkan ke penjuru dunia hingga kita
bisa merasakan apa yang disebut Hak
Asasi Manusia dan Feminisme pada saat
ini. Dalam bukunya, “Pergaulan Bebas,
Prostitusi, dan Wanita”, M. Thalib
menulis,
“Slogan-slogan inilah yang membuat
orang-orang bodoh turut serta
mengulang-ulanginya di seluruh penjuru
dunia di kemudian hari, tanpa berfikir
dan memakai akalnya lagi.”
Mungkin terasa ganjil bagi kita, mengapa
Yahudi sebagai bangsa yang pongah
begitu takut dengan perempuan?
Jawabannya sederhana: membiarkan
seorang wanita tumbuh menjadi solihah
adalah alamat “kiamat” bagi mereka.
Jika seorang ibu yang solehah bisa
mengasuh 5 anak muslim di keluarganya
untuk tumbuh menjadi generasi mujahid.
Kita bisa hitung berapa banyak generasi
yang bisa dihasilkan dari 800 juta
perempuan muslim saat ini?
Seorang sahabat pernah bertanya kepada
Rasulullah, “Siapakah manusia di muka
Bumi ini yang harus diperlakukan dengan
cara yang paling baik ?”. Rasul menjawab,
“Ibumu”. “Setelah itu siapa lagi ya Rasul”.
Sekali lagi Rasul menjawab, “Ibumu”.
Sahabat bertanya kembali, “Kemudian
siapa?”. Lagi-lagi Rasul menjawab “Ibumu,
baru Ayahmu”. [Shahih, Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar